HUT RI KE-68 DI MATA MASYARAKAT

makna HUT RI ke-68 Tahun 2013
Lombok Utara- Hari peringatan kemerdekaan pastinya adalah hari yang penting bagi bangsa Indonesia. Pada hari itu, langsung atau tak langsung, bangsa ini diingatkan tentang buah manis pencapaian usaha tak kenal para pahlawan dalam memperjuangkan kemerdekaan. Pemaknaan terhadap hari penting tersebut oleh masyarakat rupanya bisa sangat beragam.
Ditemui di daerah Kantor Perkantoran Camat Gangga, Jum'at (16/8/2013), Riadi seorang karyawan swasta berpendapat,
"Apa ya, hmmm... Semangat. Iya itu, semangat. Dulu kan para pahlawan semangat banget pas tanggal 17 Agustus 1945, terutama waktu proklamasi kemerdekaan. Jadi tanggal 17 Agustus itu tentang semangat kemerdekaan,"
Sedangkan Ami, pemilik warung nasi di daerah pinggiran jalan lebih mengingatnya sebagai hari yang ramai akan perlombaan.
"17-an sih pastinya rame banyak lomba. Lucu melihat anak-anak kecil pada yang ikutan. Yang tua-tua sih ikut senang bisa ketawa-ketawa," ujarnya. apalagi ada panjat pinagnya....
Pendapat Amaq Atek, seorang supir Cidomo pun cukup serupa.
"Ingat dulu tahun 1980-an di Gondang suka ada pawai Tujubelas tiap tanggal 17 Agustus pada sore harinya," uajarnya.
Pendapat agak berbeda diutarakan Isni Yuliani, ST, seorang konsultan teknik Perencanaan.
"Dulu nasionalisme. Itu jaman saya masih kecil, masih muda, tahun 1970-an lah. Tapi kalau sekarang cenderung lebih ke perlombaan. Menurut saya itu ada pengaruh dari TV ya. Orang jadi lebih sering menonton TV daripada kumpul diskusi topik tertentu," ujarnya.

Pada bulan Agustus ini banyak kejadian istimewa sebagai catatan sejarah bangsa Indonesia yang menjadi kenangan sepanjang masa. Kenangan tersebut ditulis diatas genangan darah, cucuran keringat dan hembusan napas terakhir para pahlawan bangsa. Perjuangan para pahlawan dalam menghantarkan bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat menjadi kenyataan sehingga ditetapkannya 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan bangsa Indonesia. 68 tahun lalu gema proklamasi kemerdekaan dikumandangkan oleh sang proklamator sekaligus pemimpin bangsa yaitu Presiden Soekarno bersama wakilnya Muhammad Hatta. Pembacaan proklamasi tersebut membahana keseluruh penjuru dunia sehingga Indonesia menjadi negara yang berdaulat. Oleh karena itu bangsa Indonesia dalam setiap momentum 17 Agustus senantiasa memperingati hari kemerdekaan tersebut sebagai ucapan syukur kepada Yang Maha Kuasa. Mudah-mudahan Peringatan 68 tahun kemerdekaan RI ditahun ini, mungkin layak untuk dijadikan sebagai titik tolak melihat masa depan bangsa.

Direntang waktu itulah kemerdekaan yang diraih oleh bangsa ini adalah sesuatu yang didapat dengan gelora semangat, pengorbanan serta kesabaran para pahlawan dalam merumuskan strategi dan arah dalam mencapai kemerdekaan ini. Semangat pantang menyerah yang dilakukan oleh generasi 45 sangat dibutuhkan dalam kondisi bangsa yang sedang mengalami berbagai pergeseran nilai kemanusiaan. Oleh karena itu kalau mengkaji ruh atau semangat generasi terdahulu dan releveansinya dengan generasi sekarang, seharusnya dicermati lewat pendekatan human-historis, sebab generasi adalah pelaku utama yang tidak bisa tidak, harus mampu mengkondisikan telaah sejarah dalam khazanah intelektualnya, menguak kembali intrepetasi hubungan kausal jatuh bangunnya sebuah bangsa. Disaat generasi sekarang kehilangan orientasi historisnya maka segala sesuatu yang dilakukan dalam proses apapun cenderung ahistoris dan tidak mempunyai referensi yang jelas dalam memahami bangsa ini.Sehingga berbagai tindakan destruktif dalam bidang ekonomi, politik, hukum dan budaya adalah cermin bangsa yang ahistoris terhadap generasi terdahulu.

Kemerdekaan 68 tahun bangsa ini seharusnya menjadi tolak ukur untuk memahami realitas apa yang sedang terjadi sehingga mampu memposisikan bangsa ini kearah yang lebih maju.walaupun pada kenyataannya bahwa makna kemerdekaan sering disalahgunakan dari subtansi nilai yang sesungguhnya. Kemeredekaan bagi sebagian orang dipahami dengan berbagai bentuk penyambutan yang seolah menjadi sakral dalam setiap momentum memperingati kemerdekaan tanpa ada nilai strategis yang bisa membawa bangsa ini keluar dari himpitan krisis yang berkepanjangan.Berbagai pesta kerakyatan dan pesta pejabat dalam menyambut kemerdekaan tidak memiliki nilai subtansi yang mampu mendongkrak bangsa ini menjadi bangsa yang dihargai, mandiri dan bersih dari korupsi dalam pergaulan dunia. Oleh karena itu kita mendapati kekosongan itu menguak sangat lebar, menelan generasi kita kedalam kegelapan nilai yang tidak memiliki harga. Sejarah yang seharusnya diharapkan mampu memberikn proyeksi masa depan dalam melihat realitas bangsa, sehingga para generasi bangsa mampu memahami dan “mematut” diri dalam realitas. Ada segudang problema dalam rentang waktu 68 tahun seperti tingginya tingkat persaingan dalam dunia pendidikan sulitnya mencari pekerjaan serta berbagai problema kemanusiaan lainnya yang terus menghantui generasi abad modern.

Hilangnya sense sejarah
Apa sebenarnya andil sejarah dalam mengantisipasi kekacauan bangsa dan kekisruhan zaman ? sedemikian pentingkah hal tersebut, hingga patut dikedepankan sebagai salah satu solusi alternatif terhadap kondisi bangsa yang sedang terpuruk. Bangsa ini dengan jelas dan gamblang mempunyai nilai sejarah yang mendasar dalam rentang perjalanan panjang menuju kemerdekaan dari bangsa penjajah. Bangsa yang besar seharusnya berinteraksi secara jujur dengan nilai sejarah yang dimilikinya, sehingga persoalan bangsa diletakan dalam kaca mata analisis sejarah secara dialogis untuk melakukan proses diagnosa atas persoalan bangsa. Namun sebenarnya apa yang kita saksikan selama ini, adalah masyarakat (baik elit politik dan masyarakat awam) tidak memilikinya sense terhadap sejarah bangsanya, sehingga berbagai upaya penyelesaian bangsa senantiasa tidak dilandasi atas dasar nilai sejarah (ahistoris) yang berujung pada tercampakkannya makna kemerdekaan itu sendiri. Padahal dinegeri-negeri barat atau negara-negara maju, sejelek apapun pemimpin bangsa atau sejarah bangsa tetap menjadi kajian objektif yang menyegarkan dalam memilih dan menilai mana yang buruk dan mana yang baik demi menentukan arah bangsanya.
Selain itu, yang patut menjadi perenungan kita bersama adalah, adakah format atau tradisi baru dalam memperingati HUT RI dari pada sekedar upacara, hura-hura dan hiburan, format dan tradisi baru tersebut yang lebih menyegarkan dan mengangkat martabat bangsa. Kenapa tidak misalnya pemerintah melakukan perombakan atas tradisi ini yang selama ini tidak mendatangkan nilai manfaat yang lebih berarti buat kemajuan bangsa. Adalah sebuah ‘ketololan’ bila kita tetap mempertahankan tradisi yang tidak membuat bangsa ini menjadi besar. Artinya diperlukan sikap dan keasadaran mendasar dalam memahami subtansi nilai perjuangan para pahlawan. Dus menghindari ‘kecengengan’ bila para generasi muda atau masyarakat hanya melihat cucuran darah para pahlawan dengan isak tangis sekedar mengingat romantisme atau hanya mengenang masa lalu tanpa bisa melakukan lompatan yang lebih berarti dalam menangkap sinyal sejarah, lalu membiaskannya dalam ordinat yang akurat dan tepat dalam upaya menghadapi kemajuan jaman. Kejadian-kejadian masa lalu mamang betul harus dipahami sebagai sebuah nilai sejarah sehingga hal ini menjadi energi yang menyegarkan bagi para generasi bangsa yang akhirnya membentuk karakter dan jati diri sebuah bangsa yang merdeka secara hakiki.

Keganjilan makna
Anomali ­­­­­(keganjilan) makna kemerdekaan dalam rentang waktu 68 tahun atau selama masa kemerdekaan telah cukup jelas menjadi hiasan yang mengerikan bagi perjalanan bangsa ini. Salah satu yang patut kita renungkan adalah realitas kebangsaan kita masih belum bergeser dari berbagai krisis multidimensi yang mendera bangsa ini kearah menjadi bangsa yang mandiri. Barangkali tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa Indonesia yang kita cintai ini adalah negeri yang senantiasa dirundung dengan berbagai krisis, realitasnya adalah krisis yang melanda kita datang silih berganti dan bertubi-tubi menjadi bagian yang hinggap dalam ranah kesadaran kita. Artinya perubahan hakiki atas dasar makna kemerdekaan belum diraih secara nyata dalam kehidupan berbangsa kita, salah satu contoh adalah krisis kebangsaan kita, jika ditarik kedalam prilaku elit politik dalam mengelola bangsa ini masih belum bergeser dari tradisi lama, dan hal ini bisa jadi cermin atas berbagai krisis dinegeri ini sehingga apa yang dicita-citakan belum tercapai secara sempurna dan benar. Berkaca pada hal ini, maka kita menyadari bahwa Indonesia yang merdeka secara politik yang seluas-luasnya, adalah dapat ditandai dengan keberanian para pengelola bangsa ini dalam menentukan nasib bangsanya sendiri dikancah pergulatan peradaban dunia tanpa ada intervensi dan campur tangan dari bangsa-bangsa asing. Pada ranah ini pemerintah mampu membuka diri dalam memantapkan posisi bangsa kita kedalam pergaulan dunia.
Perlu kita sadari bahwa keganjilan dalam politik yaitu tercermin pada persoalan ketimpangan sosial dan kultur, hal ini tentu saja semua kembali kepada para pengelola bangsa ini dan masyarakat. Secara sederhana jika dicermati keganjilan tersebut bisa ditarik kedalam dua faktor, Pertama faktor internal kebangsaan kita yaitu ditandai dengan hilangnya identitas dan jati diri sebuah bangsa yang merdeka. Sehingga ruh sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat tidak mampu mendongkrak dirinya untuk bangkit dari segala keterpurukan. Satu sisi ketidak berdayaan dan hilangnya harga diri bisa jadi diakibatkan oleh para pemimpin bangsa ini yang membuat dan membiarkan segala bentuk kejahatan, kedzoliman dan kedurhakaan (seperti korupsi, kolusi, nepotisme) yang dilakukan oleh elit sosial politik yang hidup mewah.Pada sisi yang lain, berbagai bentuk kekerasan yang dilakukan oleh elit politik dan masyarakat telah menjadi karakter dan menjadi model baru dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Pola kekerasan ini hinggap dalam ranah kesadaran para pemimpin bangsa dan mewabah ditengah masyarakat sehingga kita menjadi bangsa amoral yang melanggar budaya bangsa yang otentik (bangsa yang ramah dan sopan), sehingga menyebabkan bangsa ini menjadi bangsa bar-bar dan bangsa kuli yang direndahkan oleh bangsa lain.Kedua faktor ekternal yang sifatnya dominasi bangsa-bangsa lain. Lemahnya faktor internal kita mengakibatkan negara-negara lain yang tidak senang melakukan upaya intervensi terhadap segala bentuk kebijakan dinegeri ini. Negara-negara yang relatif maju melakukan bentuk-bentuk intervensi dengan cara ekonomi pasar bebas (globalisasi). Sebab mereka mengetahui bahwa kondisi politik domestik bangsa Indonesia yang belum stabil mengakibatkan suasana global dan tentunya Amerika yang sedang mengobarkan perang terhadap teroris international. Sehingga Indonesia terseret dan menjadi perhatian mereka karena posisinya yang sangat strategis dan menentukan dikawasan Asia Tenggara. Kuatnya hegemoni dan cengkraman kekuatan kapitalisme global dalam dunia politik dan ekonomi membuat Indonesia tidak mampu untuk keluar dari ketergantungan terhadap negara-negara donor atau lembaga-lembaga kapitalis (CGI,IMF,IDB) dan liberalisasi pasar bebas.

Created By: Hamdani, S.ST


0 komentar: