Lombok Utara- Hari peringatan
kemerdekaan pastinya adalah hari yang penting bagi bangsa Indonesia.
Pada hari itu, langsung atau tak langsung, bangsa ini diingatkan tentang
buah manis pencapaian usaha tak kenal para pahlawan dalam
memperjuangkan kemerdekaan. Pemaknaan terhadap hari penting tersebut
oleh masyarakat rupanya bisa sangat beragam.
Ditemui di daerah Kantor Perkantoran Camat Gangga, Jum'at (16/8/2013), Riadi seorang karyawan swasta berpendapat,
"Apa ya, hmmm... Semangat. Iya itu, semangat. Dulu kan para pahlawan semangat banget pas tanggal 17 Agustus 1945, terutama waktu proklamasi kemerdekaan. Jadi tanggal 17 Agustus itu tentang semangat kemerdekaan,"
Sedangkan Ami, pemilik warung nasi di daerah pinggiran jalan lebih mengingatnya sebagai hari yang ramai akan perlombaan.
"17-an sih pastinya rame banyak lomba. Lucu melihat anak-anak kecil pada yang ikutan. Yang tua-tua sih ikut senang bisa ketawa-ketawa," ujarnya. apalagi ada panjat pinagnya....
Pendapat Amaq Atek, seorang supir Cidomo pun cukup serupa.
"Ingat dulu tahun 1980-an di Gondang suka ada pawai Tujubelas
tiap tanggal 17 Agustus pada sore harinya," uajarnya.
Pendapat agak berbeda diutarakan Isni Yuliani, ST, seorang konsultan teknik Perencanaan.
"Dulu nasionalisme. Itu jaman saya masih kecil, masih muda, tahun
1970-an lah. Tapi kalau sekarang cenderung lebih ke perlombaan. Menurut
saya itu ada pengaruh dari TV ya. Orang jadi lebih sering menonton TV
daripada kumpul diskusi topik tertentu," ujarnya.
Pada bulan Agustus ini banyak kejadian istimewa sebagai catatan sejarah
bangsa Indonesia yang menjadi kenangan sepanjang masa. Kenangan tersebut
ditulis diatas genangan darah, cucuran keringat dan hembusan napas
terakhir para pahlawan bangsa. Perjuangan para pahlawan dalam
menghantarkan bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat menjadi
kenyataan sehingga ditetapkannya 17 Agustus 1945 sebagai hari
kemerdekaan bangsa Indonesia. 68 tahun lalu gema proklamasi kemerdekaan
dikumandangkan oleh sang proklamator sekaligus pemimpin bangsa yaitu
Presiden Soekarno bersama wakilnya Muhammad Hatta. Pembacaan proklamasi
tersebut membahana keseluruh penjuru dunia sehingga Indonesia menjadi
negara yang berdaulat. Oleh karena itu bangsa Indonesia dalam setiap
momentum 17 Agustus senantiasa memperingati hari kemerdekaan tersebut
sebagai ucapan syukur kepada Yang Maha Kuasa. Mudah-mudahan Peringatan
68 tahun kemerdekaan RI ditahun ini, mungkin layak untuk dijadikan
sebagai titik tolak melihat masa depan bangsa.
Direntang waktu itulah kemerdekaan yang diraih oleh bangsa ini adalah
sesuatu yang didapat dengan gelora semangat, pengorbanan serta kesabaran
para pahlawan dalam merumuskan strategi dan arah dalam mencapai
kemerdekaan ini. Semangat pantang menyerah yang dilakukan oleh generasi
45 sangat dibutuhkan dalam kondisi bangsa yang sedang mengalami berbagai
pergeseran nilai kemanusiaan. Oleh karena itu kalau mengkaji ruh atau
semangat generasi terdahulu dan releveansinya dengan generasi sekarang,
seharusnya dicermati lewat pendekatan human-historis, sebab generasi
adalah pelaku utama yang tidak bisa tidak, harus mampu mengkondisikan
telaah sejarah dalam khazanah intelektualnya, menguak kembali
intrepetasi hubungan kausal jatuh bangunnya sebuah bangsa. Disaat
generasi sekarang kehilangan orientasi historisnya maka segala sesuatu
yang dilakukan dalam proses apapun cenderung ahistoris dan tidak
mempunyai referensi yang jelas dalam memahami bangsa ini.Sehingga
berbagai tindakan destruktif dalam bidang ekonomi, politik, hukum dan
budaya adalah cermin bangsa yang ahistoris terhadap generasi terdahulu.
Kemerdekaan 68 tahun bangsa ini seharusnya menjadi tolak ukur untuk
memahami realitas apa yang sedang terjadi sehingga mampu memposisikan
bangsa ini kearah yang lebih maju.walaupun pada kenyataannya bahwa makna
kemerdekaan sering disalahgunakan dari subtansi nilai yang
sesungguhnya. Kemeredekaan bagi sebagian orang dipahami dengan berbagai
bentuk penyambutan yang seolah menjadi sakral dalam setiap momentum
memperingati kemerdekaan tanpa ada nilai strategis yang bisa membawa
bangsa ini keluar dari himpitan krisis yang berkepanjangan.Berbagai
pesta kerakyatan dan pesta pejabat dalam menyambut kemerdekaan tidak
memiliki nilai subtansi yang mampu mendongkrak bangsa ini menjadi bangsa
yang dihargai, mandiri dan bersih dari korupsi dalam pergaulan dunia.
Oleh karena itu kita mendapati kekosongan itu menguak sangat lebar,
menelan generasi kita kedalam kegelapan nilai yang tidak memiliki harga.
Sejarah yang seharusnya diharapkan mampu memberikn proyeksi masa depan
dalam melihat realitas bangsa, sehingga para generasi bangsa mampu
memahami dan “mematut” diri dalam realitas. Ada segudang problema dalam
rentang waktu 68 tahun seperti tingginya tingkat persaingan dalam dunia
pendidikan sulitnya mencari pekerjaan serta berbagai problema
kemanusiaan lainnya yang terus menghantui generasi abad modern.
Hilangnya sense sejarah
Apa sebenarnya andil sejarah dalam mengantisipasi kekacauan bangsa
dan kekisruhan zaman ? sedemikian pentingkah hal tersebut, hingga patut
dikedepankan sebagai salah satu solusi alternatif terhadap kondisi
bangsa yang sedang terpuruk. Bangsa ini dengan jelas dan gamblang
mempunyai nilai sejarah yang mendasar dalam rentang perjalanan panjang
menuju kemerdekaan dari bangsa penjajah. Bangsa yang besar seharusnya
berinteraksi secara jujur dengan nilai sejarah yang dimilikinya,
sehingga persoalan bangsa diletakan dalam kaca mata analisis sejarah
secara dialogis untuk melakukan proses diagnosa atas persoalan bangsa.
Namun sebenarnya apa yang kita saksikan selama ini, adalah masyarakat
(baik elit politik dan masyarakat awam) tidak memilikinya sense terhadap
sejarah bangsanya, sehingga berbagai upaya penyelesaian bangsa
senantiasa tidak dilandasi atas dasar nilai sejarah (ahistoris) yang
berujung pada tercampakkannya makna kemerdekaan itu sendiri. Padahal
dinegeri-negeri barat atau negara-negara maju, sejelek apapun pemimpin
bangsa atau sejarah bangsa tetap menjadi kajian objektif yang
menyegarkan dalam memilih dan menilai mana yang buruk dan mana yang baik
demi menentukan arah bangsanya.
Selain itu, yang patut menjadi perenungan kita bersama adalah, adakah
format atau tradisi baru dalam memperingati HUT RI dari pada sekedar
upacara, hura-hura dan hiburan, format dan tradisi baru tersebut yang
lebih menyegarkan dan mengangkat martabat bangsa. Kenapa tidak misalnya
pemerintah melakukan perombakan atas tradisi ini yang selama ini tidak
mendatangkan nilai manfaat yang lebih berarti buat kemajuan bangsa.
Adalah sebuah ‘ketololan’ bila kita tetap mempertahankan tradisi yang
tidak membuat bangsa ini menjadi besar. Artinya diperlukan sikap dan
keasadaran mendasar dalam memahami subtansi nilai perjuangan para
pahlawan. Dus menghindari ‘kecengengan’ bila para generasi muda atau
masyarakat hanya melihat cucuran darah para pahlawan dengan isak tangis
sekedar mengingat romantisme atau hanya mengenang masa lalu tanpa bisa
melakukan lompatan yang lebih berarti dalam menangkap sinyal sejarah,
lalu membiaskannya dalam ordinat yang akurat dan tepat dalam upaya
menghadapi kemajuan jaman. Kejadian-kejadian masa lalu mamang betul
harus dipahami sebagai sebuah nilai sejarah sehingga hal ini menjadi
energi yang menyegarkan bagi para generasi bangsa yang akhirnya
membentuk karakter dan jati diri sebuah bangsa yang merdeka secara
hakiki.
Keganjilan makna
Anomali (keganjilan) makna kemerdekaan dalam rentang waktu 68
tahun atau selama masa kemerdekaan telah cukup jelas menjadi hiasan yang
mengerikan bagi perjalanan bangsa ini. Salah satu yang patut kita
renungkan adalah realitas kebangsaan kita masih belum bergeser dari
berbagai krisis multidimensi yang mendera bangsa ini kearah menjadi
bangsa yang mandiri. Barangkali tidak berlebihan jika kita mengatakan
bahwa Indonesia yang kita cintai ini adalah negeri yang senantiasa
dirundung dengan berbagai krisis, realitasnya adalah krisis yang melanda
kita datang silih berganti dan bertubi-tubi menjadi bagian yang hinggap
dalam ranah kesadaran kita. Artinya perubahan hakiki atas dasar makna
kemerdekaan belum diraih secara nyata dalam kehidupan berbangsa kita,
salah satu contoh adalah krisis kebangsaan kita, jika ditarik kedalam
prilaku elit politik dalam mengelola bangsa ini masih belum bergeser
dari tradisi lama, dan hal ini bisa jadi cermin atas berbagai krisis
dinegeri ini sehingga apa yang dicita-citakan belum tercapai secara
sempurna dan benar. Berkaca pada hal ini, maka kita menyadari bahwa
Indonesia yang merdeka secara politik yang seluas-luasnya, adalah dapat
ditandai dengan keberanian para pengelola bangsa ini dalam menentukan
nasib bangsanya sendiri dikancah pergulatan peradaban dunia tanpa ada
intervensi dan campur tangan dari bangsa-bangsa asing. Pada ranah ini
pemerintah mampu membuka diri dalam memantapkan posisi bangsa kita
kedalam pergaulan dunia.
Perlu kita sadari bahwa keganjilan dalam politik yaitu tercermin pada
persoalan ketimpangan sosial dan kultur, hal ini tentu saja semua
kembali kepada para pengelola bangsa ini dan masyarakat. Secara
sederhana jika dicermati keganjilan tersebut bisa ditarik kedalam dua
faktor, Pertama faktor internal kebangsaan kita yaitu ditandai dengan
hilangnya identitas dan jati diri sebuah bangsa yang merdeka. Sehingga
ruh sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat tidak mampu mendongkrak
dirinya untuk bangkit dari segala keterpurukan. Satu sisi ketidak
berdayaan dan hilangnya harga diri bisa jadi diakibatkan oleh para
pemimpin bangsa ini yang membuat dan membiarkan segala bentuk kejahatan,
kedzoliman dan kedurhakaan (seperti korupsi, kolusi, nepotisme) yang
dilakukan oleh elit sosial politik yang hidup mewah.Pada sisi yang lain,
berbagai bentuk kekerasan yang dilakukan oleh elit politik dan
masyarakat telah menjadi karakter dan menjadi model baru dalam
menyelesaikan berbagai persoalan. Pola kekerasan ini hinggap dalam ranah
kesadaran para pemimpin bangsa dan mewabah ditengah masyarakat sehingga
kita menjadi bangsa amoral yang melanggar budaya bangsa yang otentik
(bangsa yang ramah dan sopan), sehingga menyebabkan bangsa ini menjadi
bangsa bar-bar dan bangsa kuli yang direndahkan oleh bangsa lain.Kedua
faktor ekternal yang sifatnya dominasi bangsa-bangsa lain. Lemahnya
faktor internal kita mengakibatkan negara-negara lain yang tidak senang
melakukan upaya intervensi terhadap segala bentuk kebijakan dinegeri
ini. Negara-negara yang relatif maju melakukan bentuk-bentuk intervensi
dengan cara ekonomi pasar bebas (globalisasi). Sebab mereka mengetahui
bahwa kondisi politik domestik bangsa Indonesia yang belum stabil
mengakibatkan suasana global dan tentunya Amerika yang sedang
mengobarkan perang terhadap teroris international. Sehingga Indonesia
terseret dan menjadi perhatian mereka karena posisinya yang sangat
strategis dan menentukan dikawasan Asia Tenggara. Kuatnya hegemoni dan
cengkraman kekuatan kapitalisme global dalam dunia politik dan ekonomi
membuat Indonesia tidak mampu untuk keluar dari ketergantungan terhadap
negara-negara donor atau lembaga-lembaga kapitalis (CGI,IMF,IDB) dan
liberalisasi pasar bebas.
Created By: Hamdani, S.ST
0 komentar: